Kamis, 24 Maret 2011

PENGUKURAN DAN PEMETAAN TITIK DASAR TEKNIK

Anda Pengunjung ke :
BAB 2

PENGUKURAN DAN PEMETAAN TITIK DASAR TEKNIK


2.1 Pemasangan  


Titik Dasar Teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas (pasal. 1 butir 13 PP No.24/1997).


Pemasangan  titik dasar teknik dilaksanakan berdasarkan kerapatan dan dibedakan atas ; orde 0,1,2,3,4 serta titik dasar teknik perapatan. Pemasangan titik dasar teknik orde 0 dan 1 dilaksanakan oleh Bakosurtanal sedangkan orde 2,3,4 dan titik dasar teknik perapatan dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional.  Berdasarkan pemasangannya, titik dasar teknik dibedakan atas 2 (dua) bagian, yaitu ;  sebagai perapatan dan sebagai pengikatan.


Pemasangan titik dasar teknik yang berfungsi sebagai pengikatan berarti bahwa setiap bidang tanah dalam pendaftaran tanah sistematik ataupun sporadik harus diikatkan kepada titik dasar teknik tersebut, sedangkan yang berfungsi sebagai perapatan berarti bahwa pemasangan titik dasar teknik tersebut adalah merapatkan titik dasar teknik yang telah ada dan tersebar di suatu wilayah.


Mengingat fungsi-fungsi tersebut di atas, tahapan kegiatan pemasangan titik dasar teknik adalah sebagai berikut :


Inventarisasi

Perencanaan

Survei Pendahuluan

Monumentasi


2.1.1 Inventarisasi


Kegiatan ini dilakukan dengan mengumpulkan peta dasar teknik, peta topografi / peta rupa bumi atau peta lain yang telah ada dalam wilayah yang akan dipasang titik dasar teknik yang akan dirapatkan.


Data yang  dikumpulkan dari peta dasar teknik yang telah ada, adalah :


Jumlah dan distribusi titik dasar teknik orde 0,1,2 yang telah dipasang dalam satu propinsi bila yang akan dipasang adalah titik dasar teknik orde 2 yang baru (dalam hal perapatan titik dasar teknik).


Jumlah dan distribusi titik dasar teknik yang telah disebutkan pada butir a dan orde 3 yang telah dipasang dalam satu kabupaten / kotamadya bila yang akan dipasang adalah titik dasar teknik orde 3 yang baru (dalam hal perapatan titik dasar teknik).


Jumlah dan distribusi titik dasar teknik yang telah disebutkan pada butir b dan orde 4 yang telah dipasang dalam satu desa / kelurahan bila yang akan dipasang adalah titik dasar teknik orde 4 yang baru (dalam hal perapatan titik dasar teknik).


Jumlah dan distribusi titik dasar teknik orde 0,1,2,3,4 yang berada dalam jarak kurang dari 2 km dari lokasi bidang tanah yang akan diukur (dalam hal pengikatan bidang tanah).


Dalam hal perapatan titik dasar teknik, hasil inventarisasi di atas dituangkan pada DI 106 (lampiran 39) untuk setiap Daerah Tingkat II.


Data yang dikumpulkan dari peta topografi atau peta lain adalah :


Pengumpulan informasi kondisi geografis, sarana / prasarana wilayah yang akan dipasang titik dasar teknik (dalam hal perapatan titik dasar teknik).


Penetapan batas wilayah yang akan dipasang titik dasar teknik (dalam hal perapatan titik dasar teknik).


Pengumpulan informasi tentang ketersediaan lembar peta dasar pendaftaran, peta pendaftaran pada lokasi bidang tanah yang akan diukur (dalam hal pengikatan bidang tanah).


2.1.2 Perencanaan


Dalam hal pemasangan titik dasar teknik dilakukan untuk perapatan, perencanaan penempatan lokasi titik dasar teknik dilakukan dengan sistem grid, dengan panjang dan lebar grid disesuaikan dengan kerapatan seperti yang dimaksud dalam pasal 2. Kerapatan dimaksud adalah kerapatan maksimum yang diperkenankan dan perencanaan penempatannya diusahakan sedapat mungkin dekat dengan lokasi yang dapat dijangkau (misalnya : pinggir jalan, pemukiman) sehingga memudahkan mobilisasi dan pengukuran yang akan dilakukan.


Rencana pemasangan titik dasar teknik pada peta perencanaan tersedia juga dicantumkan nomor titik dasar teknik yang akan dipasang. Penomoran titik dasar teknik dilakukan dengan berpedoman pada pasal 6 dan lampiran 2.

Contoh :


09002   – titik dasar teknik orde 2  terletak  di  Propinsi DKI Jakarta dengan nomor urut 2.    

0901002 – titik dasar teknik orde 3 terletak di Propinsi DKI Jakarta , Kodya Jakarta Pusat dengan nomor urut 2.

2         – titik dasar teknik orde 4 pada suatu wilayah desa / kelurahan dengan nomor urut 2 dengan sistem koordinat nasional.

– titik dasar teknik orde 4 pada suatu wilayah desa / kelurahan dengan nomor urut 3 dengan sistem koordinat lokal.

- Titik dasar teknik perapatan bersifat sementara dan berfungsi sebagai titik bantu selama pengukuran bidang tanah berlangsung. Untuk memudahkan penandaan titik dasar teknik perapatan pada formulir data pengukuran dan perhitungan, petugas pengukuran diberikan kebebasan untuk memberikan nomor dengan catatan harus unik / tunggal pada setiap titik dasar teknik perapatan selama dilakukannya pengukuran bidang tanah.


Kode administrasi propinsi dan kabupaten / kotamadya  sesuai dengan lampiran 6  adalah nama propinsi dan kabupaten / kodya yang tercatat pada saat pearaturan ini ditetapkan. Untuk wilayah-wilayah administrasi baru yang muncul setelah ditetapkannya peraturan ini, kode administrasi  dibuat dengan melanjutkan kode administrasi yang tercantum pada peraturan tersebut, berdasarkan urutan waktu ditetapkannya daerah administrasi yang bersangkutan, misalnya ; untuk Kodya Bekasi yang telah ditetapkan setelah diterbitkannya peraturan ini akan mendapat kode 26 untuk Daerah Tingkat II. Untuk keperluan koordinasi pemberian kode Daerah Tingkat I, Direktorat Pengukuran dan Pemetaan akan menetapkan kode Daerah Tingkat I dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di tingkat Propinsi akan menetapkan kode Daerah Tingkat II bila terjadi penambahan daerah-daerah administrasi baru.

















Penomoran titik dasar teknik yang akan dipasang dilakukan dengan memperhatikan nomor urut titik dasar teknik yang terakhir sesuai dengan ordenya pada wilayah propinsi / kabupaten / kotamadya yang bersangkutan (berdasarkan hasil inventarisasi jumlah titik dasar teknik yang telah terpasang). Contoh : nomor urut titik dasar teknik orde 3 di Kodya Jakarta Pusat yang terakhir adalah 30, maka nomor urut titik dasar teknik yang baru akan dimulai pada nomor 31 dan seterusnya.


Dalam hal pemasangan titik dasar teknik dilakukan untuk pengikatan bidang tanah dan bidang tanah tersebut belum mempunyai lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran, pada lokasi yang akan dipasang titik dasar teknik diberi tanda di atas peta perencanaan yang telah dipersiapkan dengan kriteria sebagai berikut :


Bila bidang tanah tersebut termasuk daerah pertanian, pemohon pengukuran harus menyiapkan minimal 2 (dua)  buah titik dasar teknik orde 4 dengan jarak pemasangan maksimum 1,5 km (sesuai dengan format lembar peta pendaftaran skala 1:2.500 yang akan dibuat).


Bila bidang tanah tersebut termasuk daerah pemukiman, pemohon pengukuran harus menyiapkan minimal 2 (dua) buah titik dasar teknik orde 4 dengan jarak pemasangan maksimum 500 m (sesuai dengan format lembar peta pendaftaran skala 1:1.000 yang akan dibuat).


Bila bidang tanah tersebut termasuk perkebunan besar, pemohon pengukuran harus menyiapkan minimal 2 (dua) buah titik dasar teknik orde 4 dengan jarak pemasangan maksimum 6 km (sesuai dengan format lembar peta pendaftaran skala 1:10.000 yang akan dibuat).


Bila bidang tanah yang diukur terletak dengan jarak lebih dari 2 (dua) km terhadap 2 (dua) buah titik dasar teknik nasional atau berjarak maksimum 2 (dua) km terhadap 1 (satu) titik dasar teknik nasional, pemetaan titik dasar teknik yang akan dipakai sebagai pengikatan harus dilakukan di atas peta perencanaan.


2.1.3 Survei Pendahuluan


Survei Pendahuluan adalah tahapan kegiatan yang dilakukan untuk memastikan lokasi pemasangan titik dasar teknik sesuai dengan perencanaan yang telah dilakukan dengan melihat kondisi nyata di lapangan. Pada tahap ini setiap titik yang akan dipasang di lapangan dan titik yang akan dipakai sebagai titik ikatan harus ditinjau kondisi fisiknya di lapangan. Bila lokasi yang akan dipasang termasuk di dalam daerah batas administrasi propinsi / kabupaten / kotamadya / kecamatan / desa / kelurahan , bila memungkinkan perencanaan pemasangan titik dasar teknik dilakukan pada batas administrasi tersebut dengan memperhatikan peta administrasi wilayah tersebut. Apabila titik dasar teknik yang akan dipasang adalah titik dasar teknik orde 4, tugu-tugu instansi lain yang berada di sekitar lokasi harus diperiksa  kondisi fisiknya. Hal ini dilakukan sebagai dasar untuk menentukan apakah tugu instansi lain tersebut dapat dijadikan sebagai titik dasar teknik orde 4 atau tidak.


Untuk setiap titik-titik yang akan dipasang (titik-titik baru), apabila pengukurannya menggunakan metoda pengamatan satelit, harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut ;


Lokasi yang mudah dicapai.

Ruang pandang bebas ke langit ± 15° dari horizon.

Jauh dari sumber interferensi elektris.


Titik-titik yang dipasang dan diukur dengan pengukuran terrestrial harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut ;


Setiap titik pada jaringan kerangka titik dasar teknik harus dapat terlihat dengan titik sebelum dan sesudahnya.


Sudut  yang  akan diukur harus tidak terlalu lancip (sudut tidak kurang dari 30° ) dan tidak terlalu tumpul ( sudut tidak lebih  dari  330°).


Tidak berada pada tanah dengan kemiringan yang curam serta tidak berawa.


Mengingat fungsi titik dasar teknik sebagai pengikatan, diusahakan sebaiknya lokasi titik dasar teknik berada pada tanah-tanah negara dan kondisi tanahnya relatif stabil. Contoh ; berada di kantor-kantor pemerintahan/swasta. Setelah mempertimbangkan seluruh kriteria tersebut di atas,  tandai lokasi titik dasar teknik tersebut dengan patok kayu di lapangan dan pada peta rencana serta diupayakan untuk mendapatkan izin pemasangan dari pimpinan instansi setempat bila titik dasar teknik yang akan dipasang berada pada kantor pemerintahan/swasta atau pemilik tanah bila titik dasar teknik tersebut akan dipasang pada tanah-tanah masyarakat. Demikian pula kepada instansi pemilik tugu bila tugu instansi tersebut akan dipergunakan sebagai titik dasar teknik orde 4. Bila tugu tersebut dipakai, cantumkan nomor titik dasar teknik tersebut di peta rencana sesuai dengan lampiran 1. Penomoran dilakukan sebagai berikut ;  bila di lapangan ditemukan tugu Dinas Tata Kota dengan nomor tugu DTK-205, pada peta rencana dicantumkan DTK-205/101, dimana 101 adalah nomor urut titik dasar teknik orde 4 di desa/kelurahan tersebut.


2.1.4 Monumentasi


Monumentasi berupa pemasangan konstruksi fisik titik dasar teknik sesuai dengan pasal 5 dan lampiran 1. Titik dasar teknik orde 2,3 dibuat dengan konstruksi beton dan titik dasar teknik orde 4 dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan dengan tetap memperhatikan kondisi tanah di lokasi pemasangan, ketersediaan bahan dan kemudahan untuk membawa ke lokasi serta keamanan fisik di lapangan.


Konstruksi titik dasar teknik orde 4 dibedakan untuk daerah padat dan terbuka.


Daerah padat adalah daerah dengan tingkat pembangunan yang cukup tinggi, yang ditandai dengan cepatnya perubahan fisik di daerah tersebut dan pola penggunaan tanah yang menjurus ke arah pemukiman dan jasa. Mengingat perubahan tersebut, pemasangan titik dasar teknik menggunakan 2 (dua) alternatf, yaitu ;


Alternatif pertama berupa konstruksi beton dan ditempatkan pada trotoar-trotoar jalan, bahu jalan dan sebagainya, yang diperkirakan lokasi titik dasar teknik tersebut akan mengalami perubahan fisik.


Alternatif kedua berupa bahan kuningan, misalnya ; pada lokasi bidang tanah dimana pada bidang tanah tersebut telah berdiri bangunan permanen dan diperkirakan bangunan tersebut tidak akan dibongkar dalam waktu yang cukup lama.


Daerah terbuka adalah daerah dengan tingkat pembangunan yang lambat, yang ditandai dengan  pola umum penggunaan tanah yang menjurus ke arah pertanian sederhana yang dilakukan oleh penduduk sekitarnya. Konstruksi titik dasar teknik pada daerah ini berupa konstruksi beton, dengan harapan bahwa titik dasar teknik ini dapat dipakai dalam waktu yang cukup lama.


Selain kedua kontruksi tersebut, titik dasar teknik dapat juga dibuat berdasarkan tugu-tugu instansi lain yang telah terpasang di daerah tersebut. Hal ini dilakukan untuk dapat menyatukan sistem pemetaan yang telah dikembangkan Badan Pertanahan Nasional dengan sistem pemetaan di instansi-instansi lainnya, dengan syarat kondisi fisiknya baik (tidak pecah, retak), stabil (tidak goyang) dan pada lokasi tugu tersebut dimungkinkan dilakukannya pengukuran dengan alat pengukuran sudut dan jarak. Misalnya; tugu-tugu yang dibangun oleh Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan, Bakosurtanal, Direktorat Tata Kota dll. Bila hal ini dilaksanakan, tugu tersebut tidak perlu dirubah konstruksi fisiknya dan tidak dilaksanakan pergantian nomor tugu di lapangan.


Titik dasar teknik perapatan dibuat dengan alasan tidak dimungkinkannya dilakukan pengikatan langsung suatu bidang tanah dari titik dasar teknik orde 2, 3 atau 4. Untuk itu diperlukan titik-titik bantu yang merapatkan titik dasar teknik tersebut dan bersifat sementara atau dengan kata lain hanya dipergunakan pada saat pengukuran bidang tanah dilaksanakan. Dalam praktek di lapangan, titik dasar teknik perapatan dibuat dengan bahan sederhana yang tersedia di daerah setempat, misalnya ; patok kayu, paku seng dimana bahan ini nantinya tidak digunakan untuk waktu yang cukup lama karena pada dasarnya walaupun pengikatan suatu bidang tanah dilakukan dari titik dasar teknik perapatan, pekerjaan rekonstruksi batas tetap dilakukan dengan mengikatkan kepada titik dasar teknik orde 2,3 atau 4.


Dalam pendaftaran tanah sporadik seperti diuraikan dalam pasal 79 butir e, pemohon pengukuran diwajibkan untuk memasang titik dasar teknik orde 4 dengan catatan bahwa kedua titik dasar teknik tersebut dapat dijadikan ikatan langsung pengukuran bidang tanah yang dimohon. Selain itu, mengingat fungsi titik dasar teknik ini juga dijadikan dasar pengikatan bidang tanah pada satu lembar peta pendaftaran (pasal 29 ayat 3), lokasi kedua titik dasar teknik tersebut diharapkan dapat menjangkau seluruh bidang-bidang tanah yang terdapat pada lembar tersebut. Bila hal ini tidak memungkinkan dilakukan, pemasangan titik dasar teknik orde 4 tetap dilakukan dan pengikatan bidang tanah dilakukan dari titik dasar teknik perapatan.


Pemasangan titik dasar teknik dilakukan berdasarkan peta perencanaan yang telah diperbaiki pada saat survey pendahuluan dilaksanakan. Dengan demikian, kesinambungan kerja antara pelaksana survey pendahuluan dengan pemasangan dapat berjalan dengan baik dan pelaksana pemasangan tidak perlu menunggu sampai pelaksana survey pendahuluan menyelesaikan tugasnya secara keseluruhan. Pemasangan tugu dilakukan dengan cara mencabut patok kayu yang berada di lapangan dan menggantinya dengan konstruksi fisik yang telah ditetapkan dengan nomor titik dasar teknik sesuai dengan peta perencanaan.


2.2. Pengukuran


Pengukuran titik dasar teknik dilaksanakan dengan menggunakan metoda pengamatan satelit atau metoda lainnya (pasal 7). Titik Dasar Teknik dipakai sebagai pengikatan bidang tanah dan pengikatan bagi perapatan titik dasar teknik dengan ketelitian di bawahnya.


Berkaitan dengan pengukuran titik dasar teknik yang harus diikatkan kepada titik dasar teknik yang lebih tinggi ordenya, titik dasar teknik orde 2 harus lebih teliti dibandingkan dengan titik dasar teknik orde 3,4 dan titik dasar teknik orde 3 harus lebih teliti dibandingkan titik dasar teknik orde 4. Sehubungan dengan keterbatasan sumber daya dan peralatan yang ada, Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan hanya melaksanakan pengukuran titik dasar teknik orde 4 dan titik dasar teknik perapatan serta Direktorat Pengukuran dan Pemetaan melaksanakan pengukuran titik dasar teknik orde 2, 3, 4 dan titik dasar teknik perapatan. Pengukuran titik dasar teknik orde 2 dan 3 dapat dilaksanakan oleh Kanwil Propinsi dan atau Kantor Pertanahan setelah mendapat pelimpahan wewenang dari Direktur Pengukuran dan Pemetaan setelah mempertimbangkan kesiapan sumber daya manusia dan peralatannya. Metoda pengukuran yang dapat dipakai adalah ; pengamatan satelit, pengukuran terrestrial dan pengukuran fotogrametrik.


2.2.1 Pengamatan Satelit


Pengamatan satelit adalah model penentuan posisi titik-titik di permukaan bumi dimana posisi titik dinyatakan dengan melakukan pengukuran terhadap konstelasi satelit. GPS (Global Positioning System) merupakan salah satu sistem dari model pengamatan satelit yang ada.
































GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat.  GPS dapat digunakan setiap saat tanpa bergantung pada waktu dan cuaca. Karena karakteristiknya ini, penggunaan GPS dapat meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas pelaksanaan pengukuran dengan memperpendek waktu pelaksanaan dan menekan biaya operasional.


GPS mempunyai ketinggian  orbit yang cukup tinggi dan jumlah satelit yang relatif banyak sehingga dapat meliput wilayah yang cukup luas dan dapat digunakan oleh banyak orang pada waktu yang bersamaan.


Berdasarkan pengamatan satelit, titik dasar teknik diukur dengan cara :


Static Positioning


Penentuan posisi secara static positioning adalah penentuan posisi dari titik-titik yang statik (diam). Penentuan posisi tersebut dapat dilakukan secara absolut maupun differensial, dengan menggunakan data pseudorange dan atau fase. Karakteristik secara umum :


Memerlukan waktu pengamatan yang lama (dalam selang waktu jam).


Perhitungan dilakukan baseline per baseline yang kemudian diikuti perataan jaringan.


Perhitungan dapat dilakukan dengan ambiguity float (cycle ambiguity dianggap sebagai bilangan pecah) atau ambiguity fixed (cycle ambiguity dijadikan bilangan bulat).


Ukuran lebih pada suatu epoch pengamatan biasanya banyak.


Ketelitian posisi yang diperoleh mm sampai cm.


Metoda pengamatan satelit ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 2 atau 3.


Rapid Static


Penentuan posisi secara rapid static pada dasarnya adalah survai statik dengan waktu pengamatan yang lebih singkat. Metoda ini bertumpu pada proses penentuan ambiguitas fase yang cepat . Karakteristik secara umum :


Lama pengamatan bergantung pada panjang baseline, jumlah satelit serta geometri satelit.


Berbasiskan differential positioning dengan menggunakan data fase.


Persyaratan mendasar ; penentuan ambiguitas fase secara cepat.


Memerlukan geometri satelit yang baik, tingkat bias dan kesalahan data yang relatif rendah, serta lingkungan yang relatif tidak menimbulkan multipath.


Satu baseline umumnya diamati dalam dua sesi pengamatan.


Ketelitian posisi yang diperoleh cm.


Metoda pengamatan satelit ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.


Stop and Go


Pada metoda penentuan posisi ini, titik-titik yang akan ditentukan posisinya tidak bergerak sedangkan receiver GPS bergerak pada titik-titik dimana pada setiap titiknya receiver yang bersangkutan diam beberapa saat di titik-titik tersebut. Karakteristik secara umum :


Moving receiver bergerak dan stop (selama beberapa menit) dari titik ke titik.


Ambiguitas fase pada titik awal harus ditentukan sebelum receiver bergerak.


Selama pergerakan antara titik ke titik, receiver harus selalu mengamati sinyal GPS (tidak boleh terputus).


Berbasiskan differential positioning dengan menggunakan data fase.


Ketelitian posisi yang diperoleh cm.


Metoda pengamatan satelit ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.


2.2.1.1 Spesifikasi Teknik  


Rencana/desain jaringan harus dibuat di atas fotocopy peta topografi yang meliputi; desain dan geometris jaringan. Perencanaan ini harus memperhitungkan kekuatan jaringan titik dasar teknik.


Jumlah baseline yang membentuk suatu loop paling banyak adalah 4 (empat) buah baseline. Setiap stasiun dihubungkan dengan minimal tiga buah baseline non trivial yang diperoleh dari minimal 2 (dua) session pengamatan yang berbeda.


Tiap baseline sebaiknya terdistribusi secara merata di seluruh jaringan yang ditunjukkan dengan jarak yang relatif sama. Sekurang-kurangnya terdapat 10 (sepuluh) persen common baseline sehingga dapat dilakukan pemeriksaan konsistensi pengukuran.


Pengamatan satelit GPS carrier phase dipergunakan dalam model penentuan posisi relatif untuk menentukan komponen baseline antara 2 (dua) titik.


Teknik pengamatan dilakukan secara Rapid Static ataupun Static dengan lama pengamatan yang disesuaikan dengan panjang baseline, dengan syarat  ; tersedia 6 satelit, GDOP yang lebih kecil dari 8 (delapan), kondisi atmosfer dan ionosfer yang memadai dan interval antar epoch 15 detik.


Terdapat minimal satu titik sekutu yang menghubungkan dua session pengamatan dan lebih diharapkan menggunakan baseline sekutu.


Pengamatan satelit tidak dilakukan dengan elevasi dibawah 15°.


Ketinggian dari antena harus diukur pada tiap titik sebelum dan sesudah data dari satelit dicatat. Kedua data ketinggian tersebut tidak boleh berbeda lebih dari 2 mm.


2.2.1.2 Peralatan


Seluruh pengamatan harus mempergunakan receiver GPS geodetic yang mampu mengamati codes dan carrier phase.


Receivers single frequency (L1) dapat digunakan tetapi penggunaan dual frequency (L1 dan L2) lebih diharapkan.


Jika omni-directional antena tidak dapat dipakai, antena-antena pada titik-titik yang diamati bersamaan harus diorientasi ke arah yang sama.


Pada titik dimana pemantulan sinyal GPS mudah terjadi (seperti pantai, danau, tebing, bangunan bertingkat), antena harus dilengkapi dengan ground plane untuk mengurangi pengaruh dari multi-path.


Komponen dari sutu receiver harus dari merk dan jenis yang sama, dan harus memakai centering optis.


Minimal digunakan 3 (tiga)  receiver GPS secara bersamaan selama pengamatan.


2.2.1.3 Pengolahan Data


Seluruh reduksi baseline harus dilakukan dengan menggunakan software processing GPS yang sesuai dengan receiver yang digunakan.


Proses reduksi baseline harus mampu menghitung besarnya koreksi troposfer dan koreksi ionosfer untuk data pengamatan.


Untuk setiap baseline di dalam jaringan titik dasar teknik orde 2, standard deviasi (s) hasil hitungan dari komponen baseline toposentrik (dN, dE, dH) yang dihasilkan oleh software reduksi baseline harus memenuhi hubungan berikut :

sN £ sM

sE  £ sM

sH  £ 2 sM, dimana :

sM = [10 2 + (10d) 2 ] ½ / 1,96 mm, dimana d adalah panjang baseline dalam kilometer.


Pada baseline yang diamati 2 (dua) kali, untuk baseline < 10 km, komponen lintang dan bujur dari kedua baseline tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,03 meter. Komponen tinggi tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,06 meter. Sedangkan untuk baseline > 10 km, komponen lintang dan bujur dari kedua baseline tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,05 meter. Komponen tinggi tidak boleh berbeda lebih besar dari 0,10 meter.


Perataan jaring bebas dan terikat dari seluruh jaring harus dilakukan dengan menggunakan software perataan kuadrat terkecil yang telah dikenal.


Integritas pengamatan jaringan harus dinilai berdasarkan :

Analisis dari baseline yang diamati 2 kali.

Analisis terhadap perataan kuadrat terkecil jaring bebas

Analisis perataan kuadrat terkecil untuk jaring terikat dengan titik berorde lebih tinggi.


Akurasi komponen horizontal jaring akan dinilai terutama dari analisis elips kesalahan garis 2D yang dihasilkan oleh perataan jaring bebas untuk setiap baseline yang diamati.


Semi major axis dari elips kesalahan garis (1s) harus lebih kecil dari harga parameter r yang dihitung sebagai berikut ;

titik dasar teknik orde 2 : r = 15 (d + 0,2)

titik dasar teknik orde 3 : r = 30 (d + 0,2), dimana ;

r = panjang maksimum untuk semi major axis (mm).

d = jarak dalam Km


2.2.2 Pengukuran Terrestrial


Pengukuran terrestrial adalah penentuan posisi titik-titik di permukaan bumi dimana pada setiap yang akan diketahui koordinatnya dilakukan pengukuran jarak, sudut atau kombinasi keduanya.


Berdasarkan metoda terrestrial, titik dasar teknik diukur dengan cara :


Poligon


Metoda poligon adalah salah satu cara penentuan posisi horisontal banyak titik dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan satu sama lain dengan pengukuran sudut dan jarak sehingga membentuk rangkaian titik-titik (poligon). Metoda ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4 dan titik dasar teknik perapatan.


Pengukuran titik dasar teknik dilakukan dengan cara poligon terikat (tidak membentuk suatu loop) yang terikat di titik awal dan akhir.


















Pengukuran titik dasar teknik dilakukan dengan cara poligon terikat sempurna (tidak membentuk suatu loop) yang terikat pada 2 (dua) titik yang saling terlihat pada awal jaringan dan 2 (dua) titik yang saling terlihat pada akhir jaringan.






















Pengukuran dengan cara poligon tertutup (pengukuran titik dasar teknik diawali dan diakhiri di satu titik yang telah diketahui koordinatnya) hanya lakukan bila pada jaringan poligon  tersebut ditemui minimal 2 (dua) titik ikat yang telah diketahui koordinatnya.



















Pengukuran titik dasar teknik dilakukan dengan cara poligon tertutup yang membentuk lebih dari 1 (satu) loop dilakukan dengan memperhitungkan jaringan dan luas areal pengukuran titik dasar teknik.



















Triangulasi


Metoda triangulasi adalah salah satu cara penentuan posisi horisontal banyak titik dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan sehingga membentuk rangkaian segitiga atau jaring segitiga dimana pada setiap segitiga dilakukan hanya pengukuran sudut.  Metoda ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.


c. Trilaterasi


Metoda trilaterasi  adalah salah satu cara penentuan posisi horisontal banyak titik dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan sehingga membentuk rangkaian segitiga atau jaring segitiga dimana pada setiap segitiga dilakukan hanya pengukuran jarak. Metoda ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.






































Triangulaterasi


Konsep pembentukan jaringan segitiga seperti dilakukan pada metode trilaterasi juga dilaksanakan pada penentuan posisi dengan metode triangulaterasi, dimana pada setiap segitiga dilakukan pengukuran jarak dan sudut. Metoda ini dilakukan untuk pengukuran titik dasar teknik orde 4.






















Pengukuran Situasi


Pengukuran situasi secara terrestrial yang dilakukan pada saat pembuatan peta dasar pendaftaran (lihat Bab 3.1) akan memetakan titik detail geografis atau buatan manusia pada lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran. Apabila detail tersebut dapat diidentifikasi di peta dan di lapangan, titik tersebut dapat dianggap sebagai titik dasar teknik perapatan (pasal 17 ayat 1 butir b).


2.2.2.1 Spesifikasi Teknik


Jaringan titik dasar teknik harus diikatkan terhadap minimal 2 (dua) titik dasar teknik yang lebih tinggi ordenya.


Metoda triangulasi, trilaterasi dan triangulaterasi hanya digunakan bila diikatkan kepada 2 (dua) titik dasar teknik yang saling terlihat pada awal dan akhir pengukuran.

















Pengukuran sudut


Pengukuran sudut mendatar dilakukan dalam dua seri dengan urutan bacaan biasa – biasa – luar biasa – luar biasa untuk masing-masing seri. Selisih sudut antara seri pertama dengan seri kedua £ 5 “.


Pengukuran sudut vertikal dilakukan dalam satu seri, yaitu dengan urutan bacaan biasa – biasa dengan selisih sudut  £ 1’.


Hasil pengukuran titik dasar teknik orde 4 harus memenuhi ketelitian pengukuran sudut £ ± 10² Ö¶ n, dimana n adalah jumlah titik .


Hasil pengukuran titik dasar teknik perapatan  harus memenuhi   ketelitian pengukuran sudut £ ± 15² ¶ n, dimana n adalah jumlah titik.


Pengukuran jarak


Pengukuran jarak dengan menggunakan EDM (Electronic Distance Meter) harus dilakukan ke jurusan muka dan belakang serta  dilakukan 3 (tiga) kali untuk setiap jurusan dengan perbedaan £ 1 cm.


Pengukuran jarak dengan menggunakan pita ukur dilakukan dengan maksimal 2 kali bentangan dimana setiap bentangan harus diarahkan ke titik yang akan diukur dengan bantuan theodolit.


Pembacaan jarak dengan menggunakan pita ukur dilakukan dengan 2 kali pembacaan.


Hasil pengukuran titik dasar teknik orde 4 mempunyai salah penutup jarak £ ± 1:10.000.


Hasil pengukuran titik dasar teknik perapatan  mempunyai salah penutup jarak £ ± 1:5.000.


Ketelitian titik dasar teknik perapatan yang merupakan titik detail pada pembuatan peta garis dengan pengukuran situasi lebih besar atau sama dengan 0,3 mm pada skala peta (pasal 17 ayat 1).


Penentuan sudut jurusan awal


Pengamatan matahari atau pengukuran azimuth magnetis  dilakukan bila sistem koordinat titik ikat dinyatakan dalam sistem koordinat lokal.


Pengamatan matahari dilakukan sekurang-kurangnya 4 (empat) seri untuk masing-masing kuadran pada saat pagi dan sore hari.


Pengukuran azimuth magnetis dilakukan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali, dengan selisih sudut 10”.


Hasil pengukuran jarak dan sudut dicantumkan pada DI 103 (lampiran 36).


Data ukuran poligon / detail (DI 103) terdiri dari 24 (dua puluh empat) kolom, dan diisi dengan ketentuan ;


Kolom 1 diisi dengan nomor titik tempat berdiri alat dan diletakkan di antara baris jurusan belakang dan baris jurusan muka.


Kolom 2 diisi dengan nomor titik target / detail.

Titik target adalah titik yang merupakan rangkaian jaringan pengukuran poligon / triangulasi / trilaterasi / triangulaterasi dan terdiri dari titik target jurusan belakang dan titik target jurusan muka, dimana titik target jurusan belakang diletakkan di atas titik target jurusan muka.

Titik detail adalah titik unsur geografis / buatan manusia yang diukur untuk keperluan pengukuran situasi (lihat Bab 3.1) dan diletakkan di bawah baris titik target jurusan muka.


Kolom 3 diisi dengan bacaan biasa sudut ukuran mendatar dalam derajat (°) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 4 diisi dengan bacaan biasa sudut ukuran mendatar dalam menit (‘) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 5 diisi dengan bacaan biasa sudut ukuran mendatar dalam detik (²) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 6 diisi dengan bacaan luar biasa sudut ukuran mendatar dalam derajat (°) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 7 diisi dengan bacaan luar biasa sudut ukuran mendatar dalam menit (‘) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 8 diisi dengan bacaan biasa sudut ukuran mendatar dalam detik (²) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 9 diisi dengan rata-rata sudut mendatar dalam derajat (°).


Kolom 10 diisi dengan rata-rata sudut mendatar dalam menit (‘).


Kolom 11 diisi dengan rata-rata sudut mendatar  dalam detik (²).


Kolom 12 diisi dengan bacaan biasa sudut ukuran vertikal (sudut zenith / sudut miring) dalam derajat (°) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 13 diisi dengan bacaan biasa sudut ukuran vertikal (sudut zenith / sudut miring) dalam menit (‘) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar pada titik target / detail (kolom 2).


Kolom 14 diisi dengan bacaan biasa sudut ukuran vertikal (sudut zenith / sudut miring) dalam detik (²) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 15 diisi dengan bacaan luar biasa sudut ukuran vertikal (sudut zenith / sudut miring) dalam derajat (°) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 16 diisi dengan bacaan luar biasa sudut ukuran vertikal (sudut zenith / sudut miring) dalam menit (‘) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 17 diisi dengan bacaan luar biasa sudut ukuran vertikal (sudut zenith / sudut miring) dalam detik (²) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 18 diisi dengan rata-rata sudut miring dalam derajat (°) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 19 diisi dengan rata-rata sudut miring dalam menit (‘) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 20 diisi dengan rata-rata sudut miring dalam detik (²) dari titik target / detail dan dituliskan sejajar baris titik target / detail (kolom 2).


Kolom 21 diisi dengan bacaan benang bawah (BB) rambu ukur bila dilakukan pembacaan jarak secara optis dan dinyatakan dalam satuan mm atau diisi dengan bacaan pertama bila dilakukan pengukuran jarak dengan EDM dan dinyatakan dalam satuan m atau diisi dengan ukuran pertama bila dilakukan pengukuran jarak dengan pita ukur.


Kolom 22 diisi dengan bacaan benang tengah (BT) rambu ukur bila dilakukan pembacaan jarak secara optis dan dinyatakan dalam satuan mm atau diisi dengan bacaan kedua bila dilakukan pengukuran jarak dengan EDM dan dinyatakan dalam satuan m atau diisi dengan ukuran bila dilakukan pengukuran jarak dengan pita ukur.


Kolom 23 diisi dengan bacaan benang atas (BA) rambu ukur bila dilakukan pembacaan jarak secara optis dan dinyatakan dalam satuan mm atau diisi dengan bacaan ketiga bila dilakukan pengukuran jarak dengan EDM dan dinyatakan dalam satuan m.


Kolom 24 diisi dengan jarak datar ukuran.


Selain kolom yang harus diisi seperti di uraikan di atas, petugas ukur mencantumkan lokasi pengukuran, alat ukur dan sketsa lokasi pengukuran di setiap halaman.


Kolom 1 s/d. 8, 12 s/d. 17 diisi pada saat pengukuran sedang berlangsung di lapangan dengan tinta berwarna hitam dan apabila terjadi kesalahan penulisan harus dicoret dan tidak perlu dihapus.

Kolom 3 s/d.11, 18 s/d. 20 dan 24 diisi pada  tahapan pra pengolahan data dengan pensil.


Bila sistem pembacaan theodolit yang dipakai adalah sistem grid (400 grade = 360 °), seluruh data bacaan sudut dalam derajat (°) diganti dengan grade (g), menit (‘) diganti dengan centigrade (c) dan detik (“) diganti dengan centi centigrade (cc).


Hasil pengukuran sudut jurusan suatu sisi dengan pengamatan matahari dicantumkan pada DI 105 (lampiran 38) .


2.2.2.2. Peralatan


Peralatan yang digunakan untuk pengukuran sudut harus berupa theodolit yang memiliki ketelitian bacaan minimal 1” (untuk titik dasar teknik orde 4) dan ketelitian bacaan minimal 20” (untuk titik dasar teknik perapatan).


Pengukuran azimut magnetis dilakukan dengan theodolit yang dilengkapi bacaan azimut magnetis.


Pengukuran jarak dilakukan dengan menggunakan EDM (untuk titik dasar teknik orde 4, titik dasar teknik perapatan) atau menggunakan pita ukur (untuk titik dasar teknik perapatan).


Pengukuran jarak secara optis hanya diperkenankan untuk memeriksa kebenaran ukuran jarak dari EDM/pita ukur.


Pengamatan matahari dilakukan dengan memakai bantuan prisma roeloef.


Pengamatan waktu pengukuran pada saat pengamatan matahari dilaksanakan  dengan jam dijital yang dapat menentukan waktu setempat.


Theodolit yang dipakai harus memenuhi persyaratan ; sumbu tegak harus tegak lurus sumbu mendatar, garis bidik harus tegak lurus sumbu mendatar, garis jurusan nivo skala tegak harus sejajar garis indek skala tegak dan garis jurusan nivo skala mendatar harus tegak lurus sumbu mendatar.


2.2.2.3 Pengolahan Data


Pengolahan data sudut


Data sudut yang dipakai pada pengolahan data adalah rata-rata hasil pengukuran pada posisi biasa dan luar biasa.


Bila pembacaan sudut vertikal pada theodolit yang dipakai adalah sudut zenith, kata-kata Sudut Miring pada judul kolom dicoret dan berlaku pula sebaliknya untuk sudut miring.


Hitungan sudut ukuran mendatar dilakukan pada DI 103, dengan ketentuan ;


Kolom 3,4,5 diisi dengan hasil hitungan sudut ukuran mendatar pada posisi biasa dalam satuan derajat, menit dan detik, dengan ketentuan :


b1 = M1 – B1, dimana ;


b1    = sudut ukuran mendatar posisi biasa

M1 = bacaan sudut mendatar pada jurusan muka posisi

        biasa

B1  = bacaan sudut mendatar pada jurusan belakang  posisi

       biasa


Kolom 6,7,8 diisi dengan hasil hitungan sudut ukuran mendatar pada posisi luar biasa dalam satuan derajat, menit dan detik, dengan ketentuan :


b2 = M2 – B2, dimana ;


b2  = sudut ukuran mendatar posisi biasa

M2 = bacaan sudut mendatar pada jurusan muka posisi

        biasa

B2  = bacaan sudut mendatar pada jurusan belakang

        posisi biasa


Kolom 9,10,11 diisi dengan hasil hitungan rata-rata sudut ukuran mendatar dalam satuan derajat, menit dan detik, dengan ketentuan :


b= ( b1 + b2 ) / 2, dimana ;

b= sudut ukuran


Kolom 18,19,20 diisi dengan hasil hitungan sudut ukuran vertikal dalam satuan derajat, menit dan detik dengan ketentuan :


z = (z1 + z2) / 2, dimana ;


z = sudut vertikal

z1= sudut vertikal dalam posisi biasa

z2= sudut vertikal dalam posisi luar biasa


Bila pembacaan sudut vertikal pada theodolit yang dipakai adalah sudut zenith, rata-rata sudut miring (kolom 18,19 dan 20) dihitung dari ; m = 90 – z, dimana : m = sudut miring dan z = sudut zenith.


Pengolahan data jarak


Hitungan jarak datar ukuran dilakukan pada DI 103.


Untuk perhitungan dalam sistem koordinat lokal, jarak yang dipakai pada perhitungan jaringan titik dasar teknik adalah jarak datar ukuran.


Untuk perhitungan dalam sistem koordinat nasional, jarak yang dipakai pada perhitungan jaringan titik dasar teknik adalah jarak pada bidang proyeksi.


Jarak pada  ellipsoid  referensi dihitung dengan ketentuan ;


S = (F) Su, dimana

S = jarak pada bidang ellipsoid

(F) = Sea Level Factor (diambil dari Tabel 2-1)

Su = jarak datar ukuran.


Contoh :

Tinggi rata-rata 2 titik di atas permukaan air laut dimana pada titik tersebut dilakukan pengukuran jarak adalah 700 m dan jarak ukuran datar adalah 150 m.

S = 150 x 0,99992 = 149,988 m.











































Jarak pada bidang proyeksi dihitung dengan ketentuan ;


D = K S, dimana ;


D = jarak pada bidang proyeksi

K = faktor skala titik (untuk jarak maksimal 150 m) atau faktor skala garis (untuk jarak maksimal 2 km)


Untuk jarak maksimal 150 m


K = 0,9999 + 1,237 (Xr.10-7)2, dimana ;


K   = faktor skala titik

Xr = absis pendekatan (dalam sistem koordinat nasional) rata-rata dari 2 titik ukuran


Contoh :























Untuk jarak maksimal 2 km

K = 0,9999 + 0,4124 ((X1.10-7)2+(X2.10-7)2 + (X1  10-7)

(X2 10-7))


Pengolahan data sudut jurusan


Penentuan arah Utara geografi dapat dihitung dari 2 (dua) titik dasar teknik yang telah diketahui  koordinatnya.


Bila dilakukan pengamatan matahari, Utara geografi didapat dengan melakukan perhitungan azimut suatu sisi berdasarkan tabel almanak matahari yang dikeluarkan oleh Institut  Teknologi Bandung atau Direktorat Topografi TNI-AD.


Bila dilakukan pengukuran azimut magnetis, Utara geografi diambil pendekatan sama dengan azimut magnetis.


Pengolahan data jaringan titik dasar teknik


Pengolahan data jaringan dilakukan secara manual atau dijital.


Bila pengolahan data jaringan dilakukan dalam sistem koordinat nasional dan cakupan lokasi pengukuran mencakup 2 (dua) zone TM-3°, pengolahan data dilakukan untuk setiap zone TM-3°.


Pengolahan data poligon dilakukan dengan cara memberikan koreksi sudut / jarak dari jaringan titik dasar teknik.


Pengolahan data triangulasi dilakukan dengan cara memberikan koreksi sudut dari setiap segitiga.


Pengolahan data trilaterasi dilakukan dengan cara memberikan koreksi jarak dalam setiap segitiga yang didapat dari syarat geometris segitiga.


Bila pengukuran dilakukan dengan metode triangulasi, trilaterasi atau triangulaterasi, setiap segitiga yang dibentuk harus memenuhi kriteria ketelitian di atas.


Pengolahan data poligon dilakukan dengan cara perataan Bowditch atau perataan kuadrat terkecil dengan memakai DI. 104 (lampiran 37).


Data hitungan koordinat (poligon) (DI 104) terdiri dari 17 (tujuh belas) kolom, dan diisi dengan ketentuan ;


Kolom 1 diisi dengan nomor titik yang dipakai sebagai jaringan pengukuran.


Kolom 2 diisi dengan dengan rata-rata sudut mendatar  dalam derajat (°), dan disalin dari kolom 9 DI 103 dan dituliskan pada baris dimana dilakukannya pengukuran sudut.


Kolom 3 diisi dengan dengan rata-rata sudut mendatar  dalam menit (‘), dan disalin dari kolom 10 DI 103 dan dituliskan pada baris dimana dilakukannya pengukuran sudut.


Kolom 4 diisi dengan dengan rata-rata sudut mendatar  dalam detik (²), dan disalin dari kolom 11 DI 103 dan dituliskan pada baris dimana dilakukannya pengukuran sudut.


Kolom 5 diisi dengan nilai koreksi sudut mendatar dalam satuan detik (“).


Kolom 6 diisi dengan nilai sudut jurusan dalam satuan derajat (°).


Kolom 7 diisi dengan nilai sudut jurusan dalam satuan menit (‘).


Kolom 8 diisi dengan nilai sudut jurusan dalam satuan detik (“).


Kolom 9 diisi dengan nilai jarak dalam satuan meter (m).


Kolom 10 diisi dengan nilai perkalian jarak dengan sinus sudut jurusan.


Kolom 11 diisi dengan nilai koreksi absis dalam satuan meter.


Kolom 12 diisi dengan nilai perkalian jarak dengan cosinus sudut jurusan.


Kolom 13 diisi dengan nilai koreksi ordinat dalam satuan meter (m).


Kolom 14 diisi dengan nilai absis (X) dalam satuan meter (m).


Kolom 15 diisi dengan nilai ordinat (Y) dalam satuan meter (m).


Kolom 16 diisi dengan diisi dengan nomor titik yang dipakai sebagai jaringan pengukuran.


Kolom 17 diisi dengan keterangan yang berhubungan dengan titik.


Pengolahan data dilakukan sebagai berikut ;


Poligon terikat


Tetapkan sudut jurusan awal pendekatan 0901123 ke 3 diambil dari harga pendekatan, misalnya ;


ao 0901123 – 5 = 134°


Hitung sudut jurusan pendekatan untuk sisi lainnya dengan mengambil sudut jurusan awal yang telah diketahui, dengan ketentuan ;


a jk = a ij+ b j- 180°, dimana ;


a jk = sudut jurusan jk

b j   = sudut mendatar j


Hitung koordinat pendekatan titik lainnya dengan mengambil koordinat awal 0901123  yang telah diketahui, dengan ketentuan ;


Xoj = Xoi + D ij sin a ij

Yoj = Yoi + D ij cos a ij, dimana ;


Xoj = absis pendekatan pada titik j

Yoj = ordinat pendekatan pada titik j

D ij = jarak datar pada bidang proyeksi

a ij= sudut jurusan ij

Xoi = absis pendekatan pada titik i

Yoi = ordinat pendekatan pada titik i


Didapat sudut jurusan dan koordinat pendekatan titik kontrol, yaitu ;


X0901124 = 40.256,499 dan Y0901124 = 300.024,275

a 6-0901124= 29° 0’ 0”


Contoh hitungan koordinat pendekatan untuk poligon terikat dapat dilihat pada Tabel 2-2.


Hitung besarnya sudut jurusan pendekatan titik kontrol (0901123 dan 0901124 pendekatan) berdasarkan nilai koordinat pendekatan, dan didapat ;


ao 0901123 – 0901124 = 84° 35’ 37”,12


Hitung besarnya sudut jurusan titik kontrol (0901123 dan 0901124) berdasarkan nilai koordinat titik kontrol, dan didapat ;

a 0901123 – 0901124 = 85° 34’ 45”,41


Hitung besarnya sudut putar (rotasi) antara koordinat pendekatan dan koordinat yang telah diketahui, dengan ketentuan ;


q = a 0901123 – 0901124 - ao 0901123 – 0901124

q = 0o 59’ 8”,29










































Hitung besarnya sudut jurusan awal jaringan,  dengan ketentuan ;


a 0901123 – 5 = ao 0901123 – 5 + q

a 0901123 – 5 = 134° 59’ 8”,29


Hitung sudut jurusan dan perbedaan absis / ordinat antara 2 (dua) titik, dengan ketentuan ;


Dx ij = D ij sin a ij

  Dy ij = D ij cos a ij, dimana :


Dx ij= perbedaan absis

Dy ij= perbedaan ordinat


Hitung jumlah jarak proyeksi dan jumlah perbedaan absis / ordinat dan didapat ;


S D       = 399.9

S Dx ij = 256,878

S Dy ij  =    19,859


Hitung beda absis dan ordinat titik kontrol, dan didapat ;


DX 0901123 – 0901124 = 256,954

DY 0901123 – 0901124 =    19,865


Hitung besarnya jumlah koreksi absis dan ordinat, dengan ketentuan ;


SKx = SDx ij – DX 0901123 – 0901124

SKy = SDy ij  – DY 0901123 – 0901124


Hitung besarnya koreksi absis dan ordinat setap sisi, dengan ketentuan ;


Kx ij = (D ij SKx ) / SD

Ky ij = (D ij SKy ) / SD



Hitung absis dan ordinat, dengan ketentuan ;


Xj = Xi + Dx ij + Kx ij

Yj = Yi + Dy ij + Ky  ij


Contoh hitungan koordinat untuk poligon terikat dapat dilihat pada Tabel 2-3.


Poligon terikat sempurna


Hitung sudut jurusan awal  0901125 ke 0901123 dan sudut jurusan akhir 0901124 ke  0901126 dan  didapat ;

a 0901125 – 0901123 = 225° 0’ 0”

a 0901124 – 0901126 = 135° 0’ 0”


Hitung jumlah jarak proyeksi dan sudut mendatar dan didapat ; S D       =  399.9 dan S b =  810°  0’ 1”


Hitung besarnya jumlah koreksi sudut, dengan ketentuan ;


K(b) = a0901124–0901126 - a0901125–0901123-Sb + n . 180,

Dimana n = jumlah titik sudut, dan didapat ;K(b) = 1”


Hitung sudut jurusan untuk sisi lainnya dengan mengambil sudut jurusan awal yang telah diketahui, dengan ketentuan ;


a jk = a ij+ b j- K(b) /n - 180°


Hitung perbedaan absis / ordinat setiap sisi.


Hitung beda absis dan ordinat titik kontrol, dan didapat ;


DX 0901123 – 0901124 = 256,954

DY 0901123 – 0901124 =    19,865













































Hitung jumlah  perbedaan  absis / ordinat, dan didapat ;


S Dx ij = 256,883

S Dy ij  =    19,794


Hitung besarnya koreksi absis dan ordinat setap sisi.


Hitung absis dan ordinat.

Contoh hitungan koordinat untuk poligon terikat sempurna dapat dilihat pada Tabel 2-4.


Poligon tertutup


Hitung besarnya koreksi sudut dari syarat geometris poligon tertutup.


Hitung besarnya sudut yang telah dikoreksi.


Pada hitungan poligon tertutup, putaran  (loop) poligon dibagi atas beberapa seksi ukuran dan masing-masing seksi dimulai dan diakhiri pada titik kontrol (poligon terikat). Pada jaringan poligon tertutup seperti Gambar 2-5, hitungan dibagi 2 (dua) seksi yaitu dari 0901123 – 0901124 dan 0901124 – 0901123.


Tetapkan sudut jurusan awal pendekatan 0901123 ke 3 diambil dari harga pendekatan.


Hitung sudut jurusan pendekatan untuk sisi lainnya dengan mengambil sudut jurusan awal yang telah diketahui dan sudut ukuran yang telah dikoreksi pada seksi 1 (0901123 – 0901124). Tata cara perhitungan dilakukan sama seperti dengan perhitungan poligon terikat. Hitung besarnya sudut jurusan titik kontrol (0901123 dan 0901124) berdasarkan nilai koordinat titik kontrol.


Hitung besarnya sudut putar (rotasi) antara koordinat pendekatan dan koordinat yang telah diketahui.












































Hitung besarnya sudut jurusan awal seksi 1;


Hitung besarnya kordinat seksi 1 setelah dirotasi.


Dengan memakai sudut jurusan awal a 6-0901123, hitung koordinat seksi 2 (0901124 – 0901123). Hitungan koordinat untuk seksi 2 dilakukan sama dengan perhitungan koordinat poligon terikat tetapi sudut jurusan awal yang dipakai adalah sudut jurusan awal yang tetap (bukan pendekatan). Poligon tertutup dengan 2 (dua) loop.


Hitung besarnya koreksi sudut dari syarat geometris poligon tertutup untuk setiap loop (1 loop besar dan 2 loop kecil).


Hitung besarnya koordinat untuk setiap titik yang berada di loop besar dan dilakukan sama dengan poligon tertutup.


Hitung besarnya koordinat titik lainnya dengan memakai titik ikat yang berada di loop besar.


Triangulasi


Hitung besarnya koreksi horizon di titik A, dengan ketentuan ;


SbA = 360o


Hitung besarnya koreksi sudut untuk setiap segitiga.


Hitung besarnya jarak datar untuk setiap segitiga, dengan ketentuan ;


a2 = b2 + c2 - 2bc cos a

b2 = a2 + c2 - 2ac cos b

c2 = a2 + b2 - 2ab cos g, dimana :



a  =  panjang sisi AB

b = panjang sisi AC

c = panjang sisi BC

a = sudut BAC

b = sudut ABC

g = sudut BCA


Hitung koordinat titik 5 dengan mengikatkan dari titik 0901123 dan 0901125.


Dengan mengambil titik 5 dan 0901125 sebagai titik ikat, hitung koordinat titik A.


Hitung koordinat titik lainnya dengan mengambil titik yang telah diketahui koordinatnya sebagai titik ikat.


Trilaterasi


Dengan data jarak datar ukuran, hitung besarnya sudut di setiap segitiga.


Hitung besarnya koreksi horizon di titik A.


Hitung koordinat titik triangulasi dengan cara ikatan per segitiga (sama dengan yang dilakukan pada triangulasi).


Triangulaterasi


Hitungan koordinat dilakukan secara perataan kuadrat terkecil (least square adjustment).


2.2.3 Pengukuran Fotogrametrik


Pengukuran fotogrametrik adalah penentuan posisi titik-titik di permukaan bumi dengan cara tidak langsung melalui media foto udara.  Foto udara yang dipakai diperoleh melalui pemotretan udara dan diikatkan kepada titik kontrol di lapangan.


Selain untuk keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran, metoda pengukuran fotogrametrik menghasilkan titik dasar teknik orde 3, 4 dan titik dasar teknik perapatan.


Titik kontrol tanah sepanjang perimeter diukur dengan  pengamatan satelit (lihat Bab 2.2.1.1) dan dipasang dengan interval tertentu pada batas areal pemetaan yang sejajar arah jalur terbang dan pada batas areal pemetaan yang tegak lurus arah jalur terbang. Titik-titik ini kan menghasilkan koordinat yang mempunyai ketelitian sama dengan titik dasar teknik orde 3. Konstruksi titik dasar teknik ini juga dinyatakan di lapangan sesuai dengan lampiran 1.


Titik dasar teknik perapatan yang merupakan hasil pengukuran  fotogrametri adalah hasil proses orientasi absolut (setelah pelaksanaan Triangulasi Udara) yang tidak dinyatakan keberadaan fisiknya di lapangan. Pada pengukuran fotogrametri, seluruh detail geografi yang terdapat pada peta dasar pendaftaran dapat dinyatakan sebagai titik dasar teknik perapatan.


Titik-titik alam (natural point), titik buatan manusia (premark) yang dinyatakan keberadaan fisiknya sesuai lampiran 1 dikelompokkan sebagai titik dasar teknik orde 4.


Dengan demikian, titik dasar teknik orde 3 hasil pengukuran fotogrametrik dapat merupakan  ikatan untuk titik dasar teknik orde 4 yang lain dan seluruh detail yang ada pada peta dasar pendaftaran, misalnya ; persimpangan jalan, jembatan, tikungan sungai yang dapat diidentifikasi di lapangan dapat dijadikan ikatan bagi pengukuran bidang tanah yang berfungsi  sebagai titik dasar teknik perapatan.


2.2.3.1 Spesifikasi Teknik


Hasil pemotretan udara adalah foto udara vertikal.


Pengukuran titik kontrol tanah dilakukan berdasarkan spesifikasi teknik yang sama dengan hasil pengukuran titik dasar teknik orde 3.



Pengukuran  sipat  datar  (levelling)  memenuhi  ketelitian :


Sp = 15 mm Ö D dimana ;


Sp = kesalahan penutup

D  = jarak dalam km.


Triangulasi udara (kegiatan yang dilakukan untuk menentukan koordinat titik-titik kontrol minor) dan Perataan Blok yang merupakan proses kegiatan sebelum diadakannya orientasi absolut harus dilaksanakan di atas diapositif.


Titik kontrol minor yang dipilih pada proses triangulasi udara harus berupa 3 (tiga) titik sekutu pada setiap area supralap, yaitu dua titik sayap dan satu titik nadir dan letak titik sayap harus di dalam area sidelap dan harus digunakan sebagai titik ikat antar strip yang bersebelahan.


Akurasi relatif blok (kesalahan root mean square) koordinat titik kontrol minor dari hasil proses Triangulasi Udara lebih kecil dari 25 micron kali skala foto untuk koordinat X dan Y dan tidak lebih besar dari 0,03 % dari tinggi terbang untuk koordinat Z.


RMS residual koordinat titik-titik tanah tidak lebih besar dari 40 micron skala foto untuk koordinat X dan Y, sedangkan untuk koordinat Z tidak lebih besar dari 0,03 % dari tinggi terbang.


2.2.3.2  Peralatan


Instrumen yang digunakan untuk Triangulasi Udara adalah ; plotter analitik atau comparator atau instrumen plotting stereo presisi.


Instrumen pengamatan harus dihubungkan secara langsung ke alat pencatat/registrasi koordinat.


Instrumen pemetaan  adalah  adalah stereo plotter presisi atau Analitical Plotter.



2.2.3.3 Pengolahan Data


Perataan blok pada Triangulasi Udara menggunakan program PAT-M atau PAT-MR.


2.3 Pemetaan


Setiap titik dasar teknik yang telah diukur dan dihitung harus dipetakan pada Peta Dasar Teknik (pasal. 8). Peta dasar teknik dibuat berdasarkan peta topografi atau peta lain.


2.3.1 Fungsi Peta Dasar Teknik


Peta dasar teknik dipakai sebagai gambaran penyebaran jaringan titik dasar teknik dalam satu cakupan wilayah, penetapan titik dasar teknik yang akan dipakai sebagai titik pengikatan, perencanaan perapatan titik dasar teknik dan dipakai sebagai media pembagian lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran.


Dalam hal pendaftaran tanah sporadik, segera setelah petugas pengukuran menerima perintah pengukuran (pasal 79 butir d), petugas pengukuran diharuskan memeriksa keberadaan sarana peta dan titik dasar teknik di sekitar bidang tanah tersebut dengan cara melihat letak lokasi bidang tanah yang akan diukur pada peta dasar teknik, peta dasar pendaftaran, peta pendaftaran dengan titik dasar teknik yang tersedia di lapangan. Untuk selanjutnya dilakukan evaluasi ;


Apakah pemohon pengukuran harus menyiapkan minimal 2 (dua) titik dasar teknik.

Titik dasar teknik yang akan digunakan sebagai titik kontrol dan titik ikat.

Penggunaan sistem koordinat nasional atau sistem koordinat lokal.


Dalam hal pendaftaran tanah sistematik, segera setelah lokasi pendaftaran tanah sistematik ditetapkan, satgas pengukuran dan pemetaan merencanakan penempatan titik dasar teknik orde 4 yang akan diikatkan kepada 2 (dua) buah titik dasar teknik nasional yang berada di sekitar lokasi pendaftaran tanah sistematik. Perencanaan penempatan titik dasar teknik dilakukan dengan mendistribusikan titik dasar teknik orde 4 secara merata di lokasi pendaftaran tanah sistematik dengan melihat jumlah bidang tanah yang akan didaftar.


2.3.2 Pembuatan Peta Dasar Teknik


Titik dasar teknik dipetakan pada peta topografi atau peta lain.


Peta dasar teknik dibuat secara manual atau dijital.


Titik dasar teknik orde 0,1,2 dan 3 dipetakan pada peta topografi / peta rupa bumi / peta lain skala 1:25.000 atau lebih kecil.


Bila dipetakan pada peta topografi / peta rupa bumi, titik dasar teknik dipetakan berdasarkan koordinat geografis.


Bila dipetakan pada peta lain, titik dasar teknik dipetakan berdasarkan nilai koordinat nasional.


Titik dasar teknik orde 4 dan titik dasar teknik perapatan dipetakan pada peta lain dengan skala 1:10.000 atau lebih besar berdasarkan lokasi relatif titik dasar teknik tersebut terhadap objek/detail yang ada.


Untuk keperluan dokumentasi dan pemeliharaan, selain harus memetakan titik dasar teknik pada skala yang disebutkan di atas, Kantor Pertanahan membuat peta dasar teknik dalam suatu cakupan wilayah administrasi Kabupaten/Kodya pada skala 1:20.000 dalam sistem koordinat nasional yang memetakan titik dasar teknik orde 0,1,2,3,4 dan titik dasar teknik perapatan pada peta lain.


Dalam hal pendaftaran tanah sporadik, apabila cakupan peta dasar teknik yang ada masih memungkinkan tidak perlu dibuat dalam  lembar yang baru, melainkan hanya memetakan titik tersebut ke dalam lembar peta dasar teknik yang telah ada Bila hal ini tidak mungkin dilakukan, lembar peta dasar teknik baru perlu dipersiapkan.


Dalam hal pendaftaran tanah sistematik, peta dasar teknik dibuat dalam satu lembar baru yang mencantumkan seluruh titik dasar teknik yang ada di lokasi pendaftaran tanah sistematik.


2.3.3 Format Lembar Peta Dasar Teknik


Bila titik dasar teknik dipetakan pada peta topografi / peta rupa bumi, format lembar peta dasar teknik mengikuti format peta topografi / peta rupa bumi dan tidak perlu membuat format baru.


Bila titik dasar teknik dipetakan pada peta lain, lembar peta dasar teknik dibuat dengan format baru.


2.3.3.1    Muka Peta / Bidang Gambar


Ukuran muka peta adalah 80 cm x 80 cm .


Bagian yang melingkupi muka peta dengan titik pusat sama dengan titik pusat muka peta dan dibatasi garis penuh dengan ukuran 80 cm x 80 cm.


Titik dasar teknik, nomor titik dasar teknik, detail geografis, detail buatan manusia dan batas administrasi dipetakan pada bidang gambar.


Manual ; Detail geografis, buatan manusia dan batas administrasi disalin (bila skala peta lain sama dengan skala peta dasar teknik) atau dikutip (bila skala peta lain berbeda dengan skala peta dasar teknik) dan disalin dari peta lain.


Dijital ; Detail geografis, buatan manusia dan batas admnistrasi didijitasi dari peta topografi / peta rupa bumi atau peta lain.


Selain memetakan detail seperti yang disebutkan di atas, pada bidang gambar ditampilkan batas lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional dan bila diperlukan dapat dipetakan unsur-unsur lain yang dibutuhkan, misalnya ; pada pemetaan fotogrametrik dibutuhkan data jalur terbang pemotretan udara.


Batas lembar peta dasar teknik digambarkan sepanjang muka peta dengan tebal garis 0,2 mm.


2.3.3.2    Informasi Tentang Peta


Bagian yang berisi judul, arah utara dan skala, petunjuk pembagian lembar peta dan keterangan, legenda, instansi pembuat, jumlah lembar, bagian pengesahan dan instansi pelaksana dibuat dengan ukuran yaitu :


Kotak judul, arah utara dan skala dengan ukuran 15 cm x 14 cm.

  

Judul yaitu PETA DASAR TEKNIK  ditulis dengan tinggi huruf Cl.290 dan tebal 1.0 mm dan jarak dari garis tepi atas ke bagian atas huruf adalah  1.5 cm.


Arah utara ;  berupa panah dengan panjang kaki 6 cm, bagian sayap 4.5 cm, dengan huruf U pada bagian atasnya dengan ukuran tinggi Cl 120 tebal  0.3 mm, jarak huruf dengan ujung panah 2 mm. Sayap bagian kiri di buat hitam (massif).


Skala numeris;  berupa tulisan SKALA 1 : .... menggunakan  ukuran tinggi huruf Cl. 120 dan tebal 0.3 mm. Jarak huruf bagian atas dengan kaki panah adalah  1.3.


Skala grafis; Skala grafis dibuat berupa tiga garis horizontal paralel dengan panjang  8 cm, jarak masing-masing garis 1 mm. Garis tersebut dibagi atas 5 kolom dimana kolom pertama dengan ukuran lebar 1 cm dibagi atas 10 vertikal garis dengan jarak 1 mm. Kolom kedua dengan lebar 2 cm bagian bawah dibuat hitam (massif), kolom ke tiga dengan lebar 2 cm bagian atas dibuat hitam (massif), kolom ke empat dengan jarak 2 cm bagian bawah di buat hitam (massif) dan kolom ke lima berjarak 1 cm bagian atas dibuat (massif). Jarak dari skala numeris ke bagian atas angka skala grafis adalah  1.3 cm. Pada jarak 2 mm di atas garis skala ditulis besaran yang mewakili panjang masing-masing kolom dengan tinggi angka Cl 60 dan tebal 0,2 mm.


Kotak petunjuk pembagian lembar peta dan keterangan dengan ukuran 15 cm x 28 cm.


Kotak Petunjuk Pembagian Lembar Peta


Tulisan PETUNJUK PEMBAGIAN LEMBAR PETA dengan ukuran tinggi huruf cl. 140 dan tebal 05 mm. Jarak bagian atas huruf dengan garis kotak adalah 1 cm.


Diagram  yang menunjukkan tata cara pembagian lembar lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:10.000, 1:2.500 dan 1:1.000 dalam sistem koordinat nasional , terdiri dari ;


Skala 1:10.000

Terdiri dari 1 (satu) buah bujursangkar dengan ukuran 2 cm x 2 cm dan tebal garis 0,2 mm dan mencantumkan nomor baris dan kolom cara pembagian lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional. Nomor baris dan kolom dicantumkan di sebelah kanan dan bawah bujursangkar tersebut dan dinyatakan dengan angka yang diambil dari salah satu nomor baris dan kolom yang terdapat di luar bidang gambar. Di bawah nomor kolom pembagian lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional, dicantumkan tata cara pembacaan nomor lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional, sesuai dengan lampiran 7.


Skala 1:2.500

Terdiri dari 16 (enam belas) buah bujursangkar dengan ukuran masing-masing 2 cm x 2 cm dan tebal garis 0,2 mm. Di dalam setiap bujursangkar tersebut dicantumkan nomor lembar peta  dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:2.500 dalam sistem koordinat nasional. Nomor lembar tersebut sesuai dengan lampiran 7.

Salah satu nomor bujursangkar diarsir dan di bawah bujursangkar besar dicantumkan tata cara pembacaan lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:2.500 dalam sistem koordinat nasional dan harus menerangkan nomor lembar yang diarsir.


Skala 1:1.000

Terdiri dari 9 (sembilan) buah bujursangkar dengan ukuran masing-masing 1,5 cm x 1,5 cm dan tebal garis 0,2 mm. Di dalam setiap bujursangkar tersebut dicantumkan nomor lembar peta  dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:1.000 dalam sistem koordinat nasional. Nomor lembar tersebut sesuai dengan lampiran 7.

Salah satu nomor bujursangkar diarsir dan di bawah bujursangkar besar dicantumkan tata cara pembacaan lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:1.000 dalam sistem koordinat nasional dan harus menerangkan nomor lembar yang diarsir.


Keterangan; Keterangan dimaksudkan untuk menuliskan informasi yang dianggap penting pada saat peta dasar teknik dibuat.


Judul KETERANGAN dibuat dengan ukuran tinggi huruf Cl. 100 dan tebal 0.2 mm dan jarak bagian atas huruf dengan kotak diagram adalah 1 cm atau 1.5 cm.


Isi keterangan dibuat dengan jarak 8 mm dari judul “keterangan” dan sebaiknya dibuat/ditulis dengan jarak 1 spasi dengan menggunakan tinggi huruf cl 80 dan tebal 0.2 mm. Contoh :


Keterangan :


Detail geografis didijitasi dari peta topografi skala

1:25.000


Kotak legenda dengan ukuran 15 cm x 20 cm.


Pada bagian atas ditulis judul kotak yaitu LEGENDA dengan ukuran tinggi huruf  Cl. 140 dan tebal  0.5 mm.


Jarak antara bagian atas tulisan legenda dengan garis kotak legenda adalah 7 mm.


Ukuran simbol batas administrasi, batas bidang tanah, bangunan, sungai, saluran, saluran air/parit, titik dan benda tetap, rel kereta api/ lori dibuat dengan ketebalan 0.2 mm. Jalan, jalan tanah, jembatan dibuat dengan ketebalan 0.3 mm.


Judul kelompok legenda seperti, BATAS ADMINISTRASI, BATAS FISIK DAN BANGUNAN, JALAN, REL DAN JEMBATAN, PERAIRAN, TITIK DAN BENDA TETAP LAINNYA, ditulis dengan ukuran tinggi huruf cl 80 dan tebal 0.3 mm, sedangkan keterangan /teks nya ditulis dengan tinggi huruf cl 80 dan tebal 0.2 mm.


Simbol kartografi mengikuti lampiran 4 dan lampiran 8, walaupun skala peta dasar teknik berbeda dengan skala peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran.


Kotak instansi pembuat dengan ukuran 15 cm x 3 cm.


Pada kotak ini dicantumkan Logo BPN dan ditulis BADAN PERTANAHAN NASIONAL dengan ukuran tinggi huruf  Cl. 175 dan tebal 0.6 mm.


Bagian instansi pembuat ditulis dengan ukuran tinggi huruf cl 100 dan tebal 0.3 mm yang  dapat berupa nama proyek dan tahun anggaran, nama seksi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional (bila pembuatan peta dasar teknik untuk keperluan dokumentasi / pemeliharaan) atau Deputi / Kanwil / Kantor Pertanahan. Contoh :










Kotak jumlah lembar adalah 15 cm x 5 cm.


Pada kotak ini dicantumkan masing-masing jumlah lembar skala 1:10.000, 1:2.500 dan 1:2.500 sesuai dengan cakupan wilayah yang terdapat pada lembar peta dasar teknik tersebut, dan tanggal pembuatan serta pemeriksa pada pembuatan lembar peta dasar teknik ini.


Kotak bagian pengesahan dengan ukuran 15 cm x 8 cm.


1 cm dibawah garis ditulis “Tempat, tanggal, bulan serta tahun pembuatan” dengan ukuran tinggi huruf  cl 100 dan tebal 0.3 mm.


Baris berikutnya ditulis ;


Untuk Penggunaannya,

Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/ Kotamadya..……….





Nama

NIP.


        Dengan ukuran tinggi huruf cl. 100 dan tebal 0.3 mm.


Kotak instansi pelaksana dengan ukuran 15 cm x 2 cm.


Kotak untuk menuliskan nama pelaksana di luar struktur BPN tanpa mencantumkan logo dan ditulis sebagai berikut :


    PELAKSANA                  dengan ukuran tinggi huruf cl. 120 dan tebal  0.3 mm

          

    Nama Pelaksana       dengan ukuran tinggi huruf cl. 140 dan tebal 0.5 mm

Contoh :


PELAKSANA

PT ABADI MUJUR



Jarak antara bidang gambar dengan kotak keterangan adalah 2 cm, jarak antara bidang gambar / kotak keterangan terhadap garis tepi (batas tepi) peta adalah 3 cm.

  

2.3.3.3    Di Dalam Batas Lembar Peta

  

Pada pojok kiri atas ditulis Propinsi : ......, bagian tengah ditulis Kabupaten : .......... atau Kotamadya : ............. sedang pada bagian kanan atas ditulis Nomor Zone : .......... dengan tinggi dan tebal huruf  Cl. 240 / 1.0 mm dan jarak garis bidang gambar/ garis keterangan ke huruf tersebut diatas adalah 0.5 cm.


Disebelah kanan dan bawah bidang gambar ditulis harga koordinat batas lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional yang berupa nilai ordinat (Y) dan absis (X).

Penulisan nilai absis dan ordinat (X dan Y) adalah sejajar dengan sumbu X dengan jarak 2 mm terhadap garis bidang gambar. Tinggi dan tebal angka yang digunakan adalah  Cl. 80 / 0,2 mm.


Pada bagian kanan dan bawah  antara penulisan angka ordinat dan angka absis dibuat nomor kolom dan baris letak lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional.  Letak nomor kolom di tengah-tengah antara dua nilai absis (X) batas lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional dan letak nomor baris di tengah-tengah antara dua nilai ordinat (Y) batas lembar peta dasar pendaftaran / peta pendaftaran skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional. Ukuran tinggi nomor kolom dan baris tersebut adalah cl 175 dan tebal 0.6 mm.

Contoh format lembar Peta Dasar Teknik terdapar pada Gambar 2- 11.










































2.4 Buku Tugu


Untuk keperluan dokumentasi dibuatkan buku tugu untuk setiap titik dasar teknik orde 2,3 dan 4 (pasal 10).


2.4.1 Pembuatan Buku Tugu


Buku tugu terdiri dari deskripsi, sketsa lokasi, daftar koordinat dan foto titik dasar teknik yang dibuat pada DI 100, 100A, 100B, 100C untuk titik dasar teknik orde 2, DI 101, 101A, 101B, 101C untuk titik dasar teknik orde 3 dan DI 102, 102A untuk titik dasar teknik orde 4.


Buku Tugu dibuat dalam rangkap 3 (tiga) untuk titik dasar teknik orde 2,3 dimana dan disimpan masing-masing 1 (satu) rangkap oleh Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan dan dibuat dalam rangkap 1 (satu) untuk titik dasar teknik orde 4 serta disimpan oleh Kantor Pertanahan.


Untuk memudahkan pendokumentasian dan pencarian buku tugu, buku tugu dikumpulkan setiap 50 (lima puluh) titik dasar teknik dan dijilid dengan sistem lepas untuk setiap daerah administrasi tingkat II dimana cover (halaman depan) lebih tebal dari lembaran buku tugu dan pada halaman depan kumpulan buku tugu ini dicantumkan rekapitulasi titik dasar teknik pada kumpulan buku tersebut dalam bentuk tabel, yang memuat antara lain ; nomor titik dasar teknik, Timur (X), Utara (Y), Lintang (L), Bujur (B) dan zone TM-3.


Bila dikemudian hari, daerah administrasi (Propinsi atau Kabupaten / Kodya) titik dasar teknik berubah (mengalami pemekaran), buku tugu yang tersimpan di Kantor Wilayah dan atau Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya daerah administrasi lama diserahkan kepada Kantor Wilayah dan atau Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya daerah administrasi baru dengan suatu Berita Acara Serah Terima.


Dengan diserahkannya buku tugu tersebut, pemeliharaan dan perawatan titik dasar teknik (pasal 11 ) menjadi tanggung jawab Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya daerah administrasi yang baru.


Segera setelah menerima penyerahan buku tugu, Kantor Pertanahan dan atau Kantor Wilayah penerima diharuskan memperbaharui data yang terdapat pada buku tugu, yaitu : Propinsi, Kabupaten / Kodya, Kecamatan, Desa dan nomor titik. Data tersebut cukup dicoret dengan tinta hitam dan dituliskan data baru sesuai dengan kondisi setelah terjadi perubahan daerah administrasi dan nomor titik dasar teknik disesuaikan dengan kode administrasi dan nomor urut baru.


2.4.2 Format Buku Tugu

2.4.2.1 DI 100 dan DI 101


DI 100 (lampiran 26) dan DI 101 (lampiran 30) terdiri dari 11 (sebelas) uraian titik dasar teknik yang bersangkutan. DI 100 dan DI 101 diisi dengan :


01.  DESA/KEL

Kata DESA dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kelurahan, dan kata KELURAHAN dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Desa. Penulisan nama Desa / Kelurahan dalam huruf besar.

Contoh :

01. DESA/KEL   : CEMPAKA BARU atau

01. DESA/KEL   : TELAGA ASIH


02.  KECAMATAN    

Ditulis dengan nama Kecamatan dimana titik dasar teknik tersebut berada dengan huruf besar.

Contoh :

02. KECAMATAN  : KEMAYORAN


03.  KAB/KOD        

Kata KAB dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kodya, dan kata KOD dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kabupaten. Penulisan nama Kabupaten / Kodya dalam huruf besar.

Contoh :

03. KAB/KOD : JAKARTA PUSAT atau

03. KAB/KOD : BEKASI



04.  PROPINSI   

Ditulis dengan nama Propinsi dimana titik dasar teknik tersebut berada dengan huruf  besar.

Contoh :

04. PROPINSI  : DKI JAKARTA


05.  URAIAN LOKASI TITIK

Uraian mengenai keberadaan titik tersebut terhadap lokasi sekitarnya sehingga akan memudahkan menemukan titik etrsebut. Uraian ini merupakan penjelasan dari sketsa umum lokasi (butir 05) pada DI 100 A atau DI 101 A.

Contoh :

05. URAIAN LOKASI TITIK

1117151 ditanam dekat perempatan di Kampung Puntuk kurang lebih 1,5 km dari Pasar Gemantar


06.  KENAMPAKAN YANG MENONJOL

Menguraikan tentang objek yang ada di sekitar lokasi yang dapat dijadikan penunjuk untuk mencapai lokasi titik dan merupakan penjelasan  sketsa detail lokasi titik (butir 06) pada DI 100 A atau DI 101 A .

Contoh :

06    06. KENAMPAKAN YANG MENONJOL

      - Perempatan

      - Kuburan


07.  JALAN MASUK KE LOKASI

Uraian ini juga merupakan penjelasan dari sketsa lokasi.

Contoh :

07. JALAN MASUK KE LOKASI

Dari Karanganyar menuju Jumantono kemudian ke arah Desa Genegan dan setelah melewati Pasar Gemantar ke arah kurang lebih 1,5 km ada perempatan di Kp. Puntuk.


08. TRANSPORTASI DAN AKOMODASI

Ditulis dengan uraian yang menerangkan transportasi apa yang dapat dicapai untuk mencapai lokasi titik dasar teknik tersebut.

Contoh :

08. TRANSPORTASI DAN AKOMODASI

      Kenderaan roda empat


09.  DIBUAT OLEH

Ditulis dengan pelaksana yang melakukan pemasangan titik dasar teknik tersebut. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan, cukup dicantumkan kata-kata DIREKTORAT PENGUKURAN DAN PEMETAAN. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kanwil BPN , cukup dicantumkan kata-kata KANWIL BPN PROPINSI .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kantor Pertanahan, cukup dicantumkan kata-kata KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN ......... atau KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh pihak ketiga, dicantumkan bentuk badan hukum dan nama badan hukumnya.

Contoh :

09. DIBUAT OLEH  : PT.ABADI MUJUR


10.  TGL. PEMASANGAN

Ditulis dengan tanggal pemasangan titik dasar teknik, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun. Contoh :

10. TGL. PEMASANGAN : 2-2-1997


11.   DIPERIKSA OLEH

Ditulis dengan nama yang telah melaksanakan pemeriksaan tentang keberadaan titik dasar teknik tersebut di lapangan dan merupakan pegawai di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.

Contoh :

11. DIPERIKSA OLEH  :  Ir.Asman


12.  TGL PEMERIKSAAN

Ditulis dengan tanggal pemeriksaan titik dasar teknik yang dilakukan oleh petugas pemeriksa, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.

Contoh :

12. TGL PEMERIKSAAN  : 12-3-1997


2.4.2.2 DI 100A dan DI 101A


DI 100 A (lampiran 27) dan DI 101 A (lampiran 31) terdiri dari 9 (sembilan) uraian titik dasar teknik yang bersangkutan. DI 100A dan DI 101 A diisi dengan :


01.     PETA ASAL

Ditulis dengan peta yang dipakai sebagai dasar pembuatan peta dasar teknik.

Contoh :

01. PETA ASAL : TOPOGRAFI


02.     SKALA

Ditulis dengan skala peta yang disebut pada butir 01.

Contoh :

02. SKALA : 1:50.000


03.     NO.LEMBAR

Ditulis dengan nomor lembar peta yang disebut pada butir 01.

Contoh :

03.    NO.LEMBAR  : 49/XL II.B


04.    TAHUN

Ditulis dengan tahun pembuatan peta yang disebut pada butir 01.

Contoh :

04. TAHUN : 1972


05.    SKETSA UMUM LOKASI TITIK

Gambaran dari uraian lokasi (butir 05), kenampakan yang menonjol (butir 06) dan jalan masuk ke lokasi (butir 07) pada DI 100 atau DI 101.

 Contoh :
















06.    SKETSA DETAIL LOKASI TITIK

Ditulis dengan peta detail (tidak dalam skala) lokasi titik dasar teknik, arah Utara dan hubungannya dengan letak relatif titik tersebut dengan objek-objek yang ada sekitarnya serta sesuai dengan uraian kenampakan yang menonjol (butir 06) pada DI 100 atau DI 101.

Contoh :















07.  DIBUAT OLEH

Ditulis dengan pelaksana yang melakukan pemasangan titik dasar teknik tersebut. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan, cukup dicantumkan kata-kata DIREKTORAT PENGUKURAN DAN PEMETAAN. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kanwil BPN , cukup dicantumkan kata-kata KANWIL BPN PROPINSI .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kantor Pertanahan, cukup dicantumkan kata-kata KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN .......... atau KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh pihak ketiga, dicantumkan bentuk badan hukum dan nama badan hukumnya.

Contoh :

DIBUAT OLEH : PT.ABADI MUJUR





08.  DIPERIKSA OLEH

Ditulis nama pegawai di lingkungan Badan Pertanahan Nasional yang telah melaksanakan pemeriksaan tentang keberadaan titik dasar teknik tersebut di lapangan.

Contoh :

08. DIPERIKSA OLEH  :  Ir.Asman


09. TGL PEMERIKSAAN

Ditulis dengan tanggal pemeriksaan titik dasar teknik yang dilakukan oleh petugas pemeriksa, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.

Contoh :

09. TGL PEMERIKSAAN  : 12-3-1997


2.4.2.3 DI 100B dan DI 101B


DI 100 B (lampiran 28) dan DI 101 B (lampiran 32) terdiri dari 22 (dua puluh dua) uraian titik dasar teknik yang bersangkutan. DI 100 B dan DI 101 B diisi dengan :


01.    ALAT YANG DIGUNAKAN

Ditulis dengan merk, type dan jenis alat yang dipakai pada saat pengukuran titik dasar teknik.

Contoh :

01. ALAT YANG DIGUNAKAN : GPS - TRIMBLE


02.    NOMOR SERI ALAT

Ditulis dengan nomor seri alat dipakai pada saat pengukuran titik dasar teknik.

Contoh :

02. NOMOR SERI ALAT : 423119


03.    METODE PENGAMATAN

Ditulis dengan metode yang dipakai  pada saat pengukuran titik dasar teknik.

Contoh :

03. METODE PENGAMATAN  : DOUBLE DIFFERENCE





04.    TGL PERHITUNGAN

Ditulis dengan tanggal selesainya dilakukan perhitungan koordinat titik dasar teknik, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.

Contoh :

04. TGL PERHITUNGAN : 24-2-1997


05.    TIMUR (X)

Ditulis dengan nilai absis (X) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat nasional. Bila nilai absis mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.

Contoh :

05. TIMUR (X) : 34.822,290 meter


06.    UTARA (Y)

Ditulis dengan nilai ordinat (Y) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat nasional. Bila nilai ordinat mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.

Contoh :

06. UTARA (Y) :  650.460,132 meter


07.     ZONE

Ditulis dengan nomor zone TM-3° dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan lampiran 5.

Contoh :

07. ZONE : 49.2


08.  KONV.GRID

Ditulis dengan besarnya nilai konversi grid di titik dasar teknik yang bersangkutan dalam sistem koordinat nasional dan dinyatakan dalam derajat, menit dan detik dan apabila nilai ini juga mencakup angka desimal, penulisan angka desimal cukup dilakukan sebanyak 5 (lima) angka desimal.

Contoh :

08. KONV.GRID : 0° 12’ 0,51430’’



09.  FAKTOR SKALA

Ditulis dengan besarnya nilai faktor skala titik pada titik dasar teknik yang bersangkutan dalam sistem koordinat nasional, dan dinyatakan dalam 4 (empat)  angka desimal. Contoh :

09. FAKTOR SKALA : 0,9999


10.  SKALA 1:10.000

Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada  peta skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6.

Contoh :

10. SKALA 1:10.000 : 49.2-01.062


11.   SKALA 1:2.500

Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada  peta skala 1:2.500 dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6.

Contoh :

11. SKALA 1:2.500 : 49.02-01.062-02


12.  SKALA 1:1.000

Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada  peta skala 1:1.000 dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6.

Contoh :

12. SKALA 1:1.000 : 49.2-01.062-02-7


13.  LINTANG

Ditulis dengan nilai lintang (L) dari titik dasar teknik nasional dalam satuan derajat, menit dan detik dan ditambahkan huruf U bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada Lintang Utara, atau ditambahkan huruf S bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada Lintang Selatan. Bila nilai lintang mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 5 (lima) angka desimal.

Contoh :

13. LINTANG : 7° 40’ 50,33244’’  U


14.  BUJUR

Ditulis dengan nilai bujur (B) dari titik dasar teknik nasional dalam satuan derajat, menit dan detik dan ditambahkan huruf T bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada Bujur Timur. Bila nilai bujur  mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 5 (lima) angka desimal.

Contoh :

14. BUJUR : 111° 0’ 10,27871’’  T


15.  TINGGI ELLIPSOID

Ditulis dengan ketinggian titik dasar teknik di atas permukaan ellipsoid dan dinyatakan dalam satuan metrik dan bila ketinggian titik dasar teknik diketahui di atas permukaan air laut rata-rata (MSL), nilai ketinggian ini harus ditambahkan. Bila nilai tinggi  mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 4 (empat) angka desimal.

Contoh :

15. TINGGI ELLIPSOID : 351,5843 meter atau

15. TINGGI ELLIPSOID : 351,5843 meter

     TINGGI MSL         : 324,4325 meter


16.  TIMUR

Ditulis dengan nilai absis (X) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat UTM. Bila nilai absis mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.

Contoh :

16. TIMUR  : 500.314,943 meter


17. UTARA

Ditulis dengan nilai ordinat (Y) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat UTM. Bila nilai ordinat  mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.

Contoh :

17. UTARA  : 9.151.003,410 meter


18.  ZONE

Ditulis dengan nomor zone UTM titik dasar teknik .

Contoh :

18. ZONE : 49


19.   KONV.GRID

Ditulis dengan besarnya nilai konversi grid di titik dasar teknik yang bersangkutan dalam sistem koordinat UTM dan dinyatakan dalam derajat, menit dan detik dan apabila nilai nilai ini juga mencakup angka desimal, penulisan angka desimal cukup dilakukan sebanyak 5 (lima) angka desimal.

Contoh :

19. KONV.GRID : 0° 0‘ 1,374044”


20.  DIBUAT OLEH

Ditulis dengan pelaksana yang melakukan pemasangan titik dasar teknik tersebut. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan, cukup dicantumkan kata-kata DIREKTORAT PENGUKURAN DAN PEMETAAN. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kanwil BPN , cukup dicantumkan kata-kata KANWIL BPN PROPINSI .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kantor Pertanahan, cukup dicantumkan kata-kata KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN .......... atau  KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh pihak ketiga, dicantumkan bentuk badan hukum dan nama badan hukumnya.

Contoh :

DIBUAT OLEH : PT.ABADI MUJUR


21.  DIPERIKSA OLEH

Ditulis dengan nama yang telah melaksanakan pemeriksaan tentang keberadaan titik dasar teknik tersebut di lapangan dan merupakan pegawai di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.

Contoh :

21. DIPERIKSA OLEH  :  Ir.Asman


22. TGL PEMERIKSAAN

Ditulis dengan tanggal pemeriksaan titik dasar teknik yang dilakukan oleh petugas pemeriksa, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.

Contoh :

22. TGL PEMERIKSAAN  : 12-3-1997


2.4.2.4 DI 100 C dan DI 101 C


DI 100 C (lampiran 29) dan DI 101 C (lampiran 34) terdiri dari 3 (tiga) uraian dan 4 (empat) foto dalam empat arah mata angin. DI 100 C dan DI 101 C diisi dengan :


01.  DIBUAT OLEH

    Dilengkapi dengan pelaksana yang melakukan pemasangan titik dasar teknik tersebut. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan, cukup dicantumkan kata-kata DIREKTORAT PENGUKURAN DAN PEMETAAN. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kanwil BPN , cukup dicantumkan kata-kata KANWIL BPN PROPINSI .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kantor Pertanahan, cukup dicantumkan kata-kata KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN .......... atau KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA ......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh pihak ketiga, dicantumkan bentuk badan hukum dan nama badan hukumnya.

Contoh :

01. DIBUAT OLEH : PT.ABADI MUJUR


02. DIPERIKSA OLEH

Ditulis dengan nama yang telah melaksanakan pemeriksaan tentang keberadaan titik dasar teknik tersebut di lapangan dan merupakan pegawai di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.

Contoh :

02. DIPERIKSA OLEH  :  Ir.Asman


03. TGL PEMERIKSAAN

Ditulis dengan tanggal pemeriksaan titik dasar teknik yang dilakukan oleh petugas pemeriksa, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.

Contoh :

03. TGL PEMERIKSAAN  : 12-3-1997


Dalam DI 100 C dan DI 101 C juga dicantumkan foto titik dasar teknik yang diambil dari empat arah mata angin, yaitu ; Arah Pandangan ke Utara (foto diambil dari arah Selatan dengan latar belakang titik dasar teknik), Arah Pandangan ke Selatan (foto diambil dari arah Utara  dengan latar belakang titik dasar teknik), Arah Pandangan ke Timur (foto diambil dari arah Barat  dengan latar belakang titik dasar teknik), Arah Pandangan ke Barat  (foto diambil dari arah Timur dengan latar belakang titik dasar teknik).


2.4.2.5 DI 102


DI 102 (lampiran 34)  terdiri dari 10  (sepuluh) uraian. DI 102 diisi dengan :


01.  DESA/KEL         

Kata DESA dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kelurahan, dan kata KELURAHAN dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Desa. Penulisan nama Desa / Kelurahan dalam huruf besar.

Contoh :

01. DESA/KEL   : CEMPAKA BARU atau

01. DESA/KEL   : TELAGA ASIH


02. KECAMATAN   

Ditulis dengan nama Kecamatan dimana titik dasar teknik tersebut berada dengan huruf besar.

Contoh :

02. KECAMATAN  : KEMAYORAN


03. KAB/KOD         

Kata KAB dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kodya, dan kata KOD dicoret jika titik tersebut berada di wilayah Kabupaten. Penulisan nama Kabupaten / Kodya dalam huruf besar.

Contoh :

03. KAB/KOD : JAKARTA PUSAT atau

03. KAB/KOD : BEKASI


04.  PROPINSI  

Ditulis dengan nama Propinsi dimana titik dasar teknik tersebut berada dengan huruf  besar.

Contoh :

04. PROPINSI  : DKI JAKARTA


05.     SKETSA DETAIL LOKASI TITIK

Ditulis dengan peta detail (tidak dalam skala) lokasi titik dasar teknik, arah Utara dan hubungannya dengan letak relatif titik tersebut dengan objek-objek yang ada sekitarnya serta sesuai dengan uraian kenampakan yang menonjol (butir 06) pada DI 100 atau DI 101.


06.  FOTO TITIK DASAR TEKNIK

Dilengkapi dengan foto keberadaan titik dasar teknik yang diambil dari salah satu arah mata angin dengan latar belakang yang sedapat mungkin dapat menggambarkan lokasi titik tersebut di lapangan.


07.  DIBUAT OLEH

    Ditulis dengan pelaksana yang melakukan pemasangan titik dasar teknik tersebut. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan, cukup dicantumkan kata-kata DIREKTORAT PENGUKURAN DAN PEMETAAN. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kanwil BPN , cukup dicantumkan kata-kata KANWIL BPN PROPINSI .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kantor Pertanahan, cukup dicantumkan kata-kata KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN .........atau KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh pihak ketiga, dicantumkan bentuk badan hukum dan nama badan hukumnya.

Contoh :

07. DIBUAT OLEH : PT.ABADI MUJUR


08. TGL. PEMASANGAN

Dilengkapi dengan tanggal pemasangan titik dasar teknik, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun. Contoh :

08. TGL. PEMASANGAN : 2-2-1997


09. DIPERIKSA OLEH

Ditulis dengan nama yang telah melaksanakan pemeriksaan tentang keberadaan titik dasar teknik tersebut di lapangan dan merupakan pegawai di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.

Contoh :

09. DIPERIKSA OLEH  :  Ir.Asman


10. TGL PEMERIKSAAN

Ditulis dengan tanggal pemeriksaan titik dasar teknik yang dilakukan oleh petugas pemeriksa, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.

Contoh :

10. TGL PEMERIKSAAN  : 12-3-1997


2.4.1.6 DI 102 A


DI 102 A (lampiran 35) terdiri dari 20  (dua puluh) uraian. DI 102 A diisi dengan :


01.    ALAT YANG DIGUNAKAN

Ditulis dengan merk, type dan jenis alat yang dipakai pada saat pengukuran titik dasar teknik.

Contoh :

 01. ALAT YANG DIGUNAKAN : WILD – T2


02. NOMOR SERI ALAT

Ditulis dengan nomor seri alat dipakai pada saat pengukuran titik dasar teknik.

Contoh :

01.    NOMOR SERI ALAT : 4119


03. METODE PENGAMATAN

Ditulis dengan metode yang dipakai  pada saat pengukuran titik dasar teknik.

Contoh :

03. METODE PENGAMATAN  : POLIGON


04.    TGL PERHITUNGAN

Ditulis dengan tanggal selesainya dilakukan perhitungan koordinat titik dasar teknik, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.

Contoh :

04. TGL PERHITUNGAN : 24-2-1997


05.    TIMUR (X)

Ditulis dengan nilai absis (X) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat nasional. Bila nilai absis mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.

Contoh :

      05. TIMUR (X) : 34.822,290 meter


06.    UTARA (Y)

Ditulis dengan nilai ordinat (Y) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat nasional. Bila nilai ordinat mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.

Contoh :

      06. UTARA (Y) :  650.460,132 meter


07.    ZONE

Ditulis dengan nomor zone TM-3° dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan Lampiran 5.

Contoh :

07. ZONE : 49.2


08. KONV.GRID

Ditulis dengan besarnya nilai konversi grid di titik dasar teknik yang bersangkutan dalam sistem koordinat nasional dan dinyatakan dalam derajat, menit dan detik dan apabila nilai nilai ini juga mencakup angka desimal, penulisan angka desimal cukup dilakukan sebanyak 5 (lima)  angka desimal dan bila nilai konversi grid tidak diketahui cukup dicantumkan -----.

Contoh :

08.    KONV.GRID : 0° 12’ 0,51340’’ atau

08. KONV.GRID : ----


09. FAKTOR SKALA

Ditulis dengan besarnya nilai faktor skala titik pada titik dasar teknik yang bersangkutan dalam sistem koordinat nasional, dan dinyatakan dalam 4 (empat)  angka desimal.

Contoh :

09. FAKTOR SKALA : 0.9999


10.  SKALA 1:10.000

Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada  peta skala 1:10.000 dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6.

Contoh :

10. SKALA 1:10.000 : 49.2-01.062


11.   SKALA 1:2.500

Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada  peta skala 1:2.500 dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6 .

Contoh :

11. SKALA 1:2.500 : 49.02-01.062-02


12.  SKALA 1:1.000

Ditulis dengan nomor lembar posisi titik dasar teknik pada  peta skala 1:1.000 dalam sistem koordinat nasional sesuai dengan pasal 16 dan lampiran 6.

Contoh :

12. SKALA 1:1.000 : 49.2-01.062-02-7


13.   LINTANG

Ditulis dengan nilai lintang (L) dari titik dasar teknik nasional dalam satuan derajat, menit dan detik dan ditambahkan huruf U bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada Lintang Utara, atau ditambahkan huruf S bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada Lintang Selatan. Bila nilai lintang mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 5 (lima) angka desimal.

Contoh :

13. LINTANG : 7° 40’ 50,44654’’  U


14.  BUJUR

Ditulis dengan nilai bujur (B) dari titik dasar teknik nasional dalam satuan derajat, menit dan detik dan ditambahkan huruf T bila titik dasar teknik nasional tersebut terletak pada Bujur Timur. Bila nilai bujur  mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 5 (lima) angka desimal.

Contoh :

14. BUJUR : 111° 0’ 10,24547’’  T


15.  TINGGI ELLIPSOID

Ditulis dengan ketinggian titik dasar teknik di atas permukaan ellipsoid dan dinyatakan dalam satuan metrik. dan bila ketinggian titik dasar teknik diketahui di atas permukaan air laut rata-rata (MSL), nilai ketinggian ini harus ditambahkan. Bila nilai tinggi  mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 4 (empat) angka desimal.

Contoh :

15. TINGGI ELLIPSOID : 351,5843 meter atau

15. TINGGI ELLIPSOID : 351,5843 meter

TINGGI MSL         : 324,4325 meter


Uraian 5 s/d. 15 dilengkapi dengan ------ bila koordinat titik dasar teknik tersebut dinyatakan dalam sistem koordinat lokal.


16.  TIMUR (X)

Ditulis dengan nilai absis (X) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat lokal. Bila nilai absis mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.

Contoh :

16. TIMUR  : 500.314,943 meter


17.  UTARA (Y)

Ditulis dengan nilai ordinat (Y) dari titik dasar teknik yang bersangkutan setelah dilakukannya perhitungan dalam sistem koordinat lokal. Bila nilai ordinat  mencakup nilai desimal, penulisan cukup dilakukan sampai dengan 3 (tiga) angka desimal dan dicantumkan satuan metris yang dipakai.

Contoh :

      17. UTARA  : 9.151.003,410 meter


Uraian 16 s/d. 17 dilengkapi dengan “------“ bila koordinat titik dasar teknik dinyatakan dalam sistem koordinat nasional.


18.  DIBUAT OLEH

    Ditulis dengan pelaksana yang melakukan pemasangan titik dasar teknik tersebut. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan, cukup dicantumkan kata-kata DIREKTORAT PENGUKURAN DAN PEMETAAN. Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kanwil BPN , cukup dicantumkan kata-kata KANWIL BPN PROPINSI .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh Kantor Pertanahan, cukup dicantumkan kata-kata KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN .........atau KANTOR PERTANAHAN KOTAMADYA .......... Bila titik dasar teknik tersebut dipasang oleh pihak ketiga, dicantumkan bentuk badan hukum dan nama badan hukumnya.

Contoh :

DIBUAT OLEH : PT.ABADI MUJUR


19.  DIPERIKSA OLEH

Ditulis dengan nama yang telah melaksanakan pemeriksaan tentang keberadaan titik dasar teknik tersebut di lapangan dan merupakan pegawai di lingkungan Badan Pertanahan Nasional.

Contoh :

21. DIPERIKSA OLEH  :  Ir.Asman


20. TGL PEMERIKSAAN

Ditulis dengan tanggal pemeriksaan titik dasar teknik yang dilakukan oleh petugas pemeriksa, dan dinyatakan dengan angka, yang terdiri dari tanggal, bulan dan tahun.

Contoh :

22. TGL PEMERIKSAAN  : 12-3-1997


Pada kolom nomor titik yang terletak pada kanan atas DI 100, DI 101, DI 100 A, DI 101 A, DI 100 B, DI 101 B, D.I 100 C, DI 101 C, DI 102, D.I 102 A dicantumkan nomor titik, yang dituliskan secara utuh dan bersifat unik/tunggal.

Tidak Ingin Ketinggalan Informasi Rumah kayu jati dijual dari kami Silahkan Masukan Email Anda Dibawah ini Lalu tekan Kirim Info Rumah kayu jati Dijual:

Delivered by FeedBurner

0 komentar:

Posting Komentar

 

Tags

Ass. surveyor kadastral Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template